• Home
  • Privacy Policy
  • Tutorial
  • Artikel

Dana Blog

Home → Semua Post Berkategori Kumpulan Makalah
Showing posts with label Kumpulan Makalah. Show all posts
Showing posts with label Kumpulan Makalah. Show all posts
Makalah tentang Sejarah Pembukuan atau Penulisan Hadist

Makalah tentang Sejarah Pembukuan atau Penulisan Hadist

Dana
June 23, 2016
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allas Swt. yang telah memberikan ramat dan karunianya kepada kita semua. Serta shalawat terhantur kepada nabi besar Muhammad Saw, semoga kelak kita mendapat safaatnya, aminn.
Rasa terimakasih juga penulis hanturkan kepada dosen yang telah mempercayakan pembuatan makalah ini kepada saya yang berjudul “ SEJARAH PEMBUKUAN ATAU PENULISAN HADIST ”. Seperti kata pepatah tidak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga membutuhkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sehingga makalah ini lebih baik nantinya.


 Penulis

 

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB  I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
B.    Rumusan Masalah
C.    Tujuan Pembahasan

BAB  II PEMBAHASAN
A.    Sejarah Penulisan dan Pembukuan  Hadits
B.    Hadits pada Masa Rosul dan Masa Penyebarannya
C.    Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits
D.    Masa-masa Hadits di Bukukan
E.    Kedudukan dan Keadaan Kitab-kitab hadits abad ke II H
F.    Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah
G.    Hadits dalam Abad Ketiga
H.    Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits

BAB   III  PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.    Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

     Pada masa  Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
     Menurut pendapat para ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama diberbagai kota-kota besar lainnya.
     Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan serta disempurnakan oleh para ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

B.       Rumusan Masalah

     Untuk mempermudah dalam memahami sejarah pembukuan hadits dan permasalahannya, dalam makalah ini, kami membahas tentang :
1.    Sejarah  penulisan  dan pembukuan hadits.
2.    Masalah-masalah dalam penulisan dan pembukuan hadits.
3.    Latar belakang pemalsuan hadits dan upaya penyelamatannya.


C.      Tujuan pembahasan

1.    Untuk mengetahui Sejarah Penulisan dan Pembukuan  Hadits?
2.    Untuk mengetahui Hadits pada Masa Rosul dan Masa Penyebarannya ?
3.    Untuk mengetahui Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits?
4.    Untuk mengetahui Masa-masa Hadits di Bukukan?
5.    Untuk mengetahui Kedudukan dan Keadaan Kitab dan Hadist abad ke II H?
6.    Untuk mengetahui Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah?
7.    Untuk mengetahui Hadits dalam Abad Ketiga?
8.    Untuk mengetahui Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits?



BAB II
PEMBAHASAN


A.       Sejarah Penulisan dan Pembukuan  Hadits

     Pada abad pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa rasyidin dan sebagian besar zaman umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka belum terdorong untuk membukukannya. Ketika kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H sebagai seorang khalifah dari dinasti umawiyah yang terkenal adil, sehingga beliau dipandang sebagai khalifa rasyidin yang kelima, tergeraklah hati untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa  para perawi yang membendaharakan hadits  dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan hadits dari para perawinya, memungkinkan hadits-hadits tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
     Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta  kepada Gubernur Madinah, Abu bakar bin Muhammad binAmr bin Hazm untuk membukukan hadits Rasul  dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddieq.
‘Umar bin Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm, yang bunyinya :
‘’Lihat  dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah Anda sebarkan ilmu dan mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikan barang rahasia.”
     Disamping itu ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur ke wilayah yang di bawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu ialah : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fikih dan hadits.
     Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Membukukan hadits yang ada di Madinah itu, dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Muslim bin  Syihah az Zuhry yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits di masanya.
     Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas as Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah  abbasiyah.
Pada zaman dahulu menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah, tidak disuruh juga mereka dengan senang hati  menyusun hdits tanpa meminnta  imbalan. Karena mereka berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka, ddan ini bukanlah suattu pekerjaan yang hharus diberi upah. Ulamma’ zaman dahulu benar-benar berbeda dengan ulama’ zaman sekarang, mereka benar-benar berjuang di jalan Allah dan tidak mengharapkan imbalan apapun.

Para pengumpul pertama hadits yng tercatat sejarah adalah :

a.    Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H=  669 M – 150 H 767 M).
b.    Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H = 151 M..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau Malik bin Anas     (93 H = 703 M – 179 H = 798 M ).
c.    Di kota Bashrah, al Rabi’ bin Shabih (.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad bin Salamah (176 H ), atau Sa’id bin Arubah (156H=773M).
d.    Di Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H ).
e.    Di Syam, al  Auza’y (156 H ).
f.     Di Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M ).
g.    Di Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H = 753 M -153 H = 770 M ).
h.    Di Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M ).
i.     Di Khurasan, bin Mubarak (118 H = 735 M  - 18 H = 797 M ).
j.     Di Mesir, al Laits bin Sa’ad ( 175 M  ).

     Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. ats permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H ( 143 H ).
Kitab al Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi daripada kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhory belum muncul, dari sistematika itu yang paling baik.

B.     Hadits pada Masa Rosul dan Masa Penyebarannya

     Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang mempersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan Nabi sebagai Panutan dan Pedoman dalam kehidupan mereka. jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi. Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan. mereka. mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi)yang baru mereka terima
     Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untukmembagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang  yang mereka temui.Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda “Sampaikanlah daripadaku, walaupun hanya satu ayat.” 
     Dalam hadits lain disebutkan, “Ketahuilah, hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir” (dalam majlis ini). Dengan adanya sabda-sabda Nabi diatas, maka para sahabatpun sangat tergugah untuk mendengarkan, memperhatikan dan menyampaikan hadits.kepada seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah. sehingga mereka dapat mengetahui hukum–hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, Mereka dapat memperoleh dari saudara–saudara yang langsung mendengar  dari rosulullah.metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai wafatnya Rasulullah

C.     Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits

     Para  ulama abad kedua membukukan hadits dengan  tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’.

D.     Masa-masa Hadits di Bukukan

a.    Masa pembentukan hadits.

     Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad SAW  itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.
Periode ini disebut al wahyu wa at takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum ditulis/masih lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).

b.    Masa penggalian.

     Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

c.    Masa penghimpunan

     Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat  dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum  pernah dimiliki sebelumnya, diteliti secermat-cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan khalifah  ‘Umar bin ‘Abdul  ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.

d.    Masa penyusunan

     Abad 3 H merupakan masa pentadwinan ( pembukuan ) dan penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ ( yang berisi perilaku Nabi Muhammad ), mana yang mauquf ( berisi perilaku sahabat ) dan mana yamg maqthu’ (berisi perilaku tabi’in ). Usaha  pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih  (koreksi/verifikasi ) atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadits. Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad 4 H. 

e.    Masa pembukuan hadits  ( dari abad ke-2 H – abad ke-3 H )

     Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama’ hadits pada pertengahan abad II H. Perintah kewarganegaraan  mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah II Abasyiah di Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H ). Perintah ini ditujukan kepada Malik bin Anas sewaktu berkunjung ke Madinah dalam rangka ibadah haji.
     Banyak ulama’ hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan  ulama’ dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam dan sebagainya. Karena itu masa ini dikenal  dengan “Ashrulal-Tadwin” ( masa pembukuan ). Karya ulama’ pada masa ini masih bercampur antara hadits rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum mengklasifikasikan antara hadits sahih, hasan dan dlo'if.
     Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu :

1.    Golongan politik : permulaan abad II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2.    Golongan tukang cerita : mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3.    Golongan zindik : mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan kekacauan di golongan umat Islam.
     Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama’ pada masa ini mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.

f.    Kendala pembukuan hadits
Terdapat beberapa kendala dalam pembukuan hadits, antara lain :
1.    Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu
2.    Ulama’ tidak/belum memperhatikan dhoif, shahih/hasan, yang penting itu sumbernya dari Rasulullah SAW
3.    Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak
4.    Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang lain tidak diurus.

E.       Kedudukan dan Keadaan Kitab-kitab hadits abad ke II H

Di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :
1.    Al Muwaththa’.
2.    Al Musnad, susunan al Imam asy Syafi’y.
3.  Mukhtaliful Hadits.
4.    As Siratun Nabawiyah ( al Maghazi wal Siyar ).

     Al Muwaththa’ yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua dan mendapat sambutan yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung 1726 rangkain khabar dari Nabi SAW, dari sahabat dan dari tabi’in. Kitab ini mendapat perhatian dari para ahli, karena itu banyak yang membuat syarahnya dan yang membuat mukhtasarnya.
     Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada di antaranya yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dla’if. Asy-Syafi’y pernah berkata, “Kitab yang paling shahih sesudah Al-Qur’an, ialah Al Muwaththa’.”
     Mukhaliful Hadits adalah sebuah kitab asy-Syafi’y yang penting. Di dalamnya di terangkan cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang mengharuskan kita menerima hadits ahad. Adapun didalamnya di terangkan pula cara-cara  menyesuaikan hadits-hadits yang terlihat bertentangan satu sama lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-Syafi’y dengan Muhammad bin al Hasan dan lain-lain.

F.       Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah
     
     Di dalam abad yang kedua ini, mulai dipisahkan hadits-hadits tafsir dari umum hadits dan mulai pula dipisahkan hadits-hadits sirah dan maghazinya. Maka yang mula-mula memisahkan hadits-hadits sirah, ialah Muhammad bin Ishaq bin Yassar al Muththalaby (151 H). Lalu kitab ini terkenal dengan nama Sirah ibnu Hisyam.

G.        Hadits dalam Abad Ketiga

     Ahli abad ketiga ketika mereka bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits berdasarkan statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah mereka tidak  memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if. Segala hadits yang mereka terima, dibukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya.
Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu bakar bin Hazm membukukan hadits saja mengingat perkataan ‘Umar kepadanya : 

“Jangan Anda terima melainkan hadits Rasul SAW”

     Awal mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kota mereka masing-masing. Namun, keadaan ini dipecahkan oleh al Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur, Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang ia kunjungi.
Beliau membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai daerah. 16 tahun lamanya al Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya.

H.     Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits


a.  Latar belakang mulai timbulnya pemalsuan hadits.

     Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ini ialah muncul orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat. Sejak dari timbul  fitnah di akhir masa ‘Usman r.a. umat Islam pecah menjadi beberapa golongan.

- Pertama : golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.
- Kedua : golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah.
- Ketiga : golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu ).

     Terpecahnya umat Islam tersebut, didorong keperluan dan kepentingan golongan, mereka mendatangkan  keterangan hujjah untuk mendukung. Maka bertindaklah mereka membuat hadits-hadits palsu dan menyebarkannya kedalam masyarakat.
Mulai saat itu, terdapatlah riwayat-riwayat yang shahih, dan riwayat-riwayat yang palsu, dan kian hari kian bertambah banyaknya. Awal mula yang melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan syi’ah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Bin Abdil Hadid, seorang ulama syi’ah dalam kitabnya Nahlul Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah golongan syi’ah sendiri.”
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits untuk mengimbangi  hadits-hadits yang dibuat oleh golongan syi’ah. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ialah Baghdad (kaum syiah berpusat di sana).

b.    Langkah-langkah yang diambil untuk memelihara hadits
     Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat, bergeraklah para ulama untuk membela syari’at dan memelihara agama Islam. Mereka berusaha menyaring dan menepis hadits-hadits yang diriwayatkannya itu. Hadits-hadits yang shahih mereka ambil dan hadits-hadits yang diduga palsu (dho’if) mereka tinggalkan. Mulai saat itu timbullah ilmu yang dinamakan ilmu jarh wa ta’dil. Para ulama  menerangkan kejelekan-kejelekan pemalsuan hadits dan menyuruh manusia untuk berhati-hati, serta menerangkan hadits palsu dan motif pembuatan hadits palsu.
     Telah dijelaskan bahwa di samping para ulama’ membukukan hadits dan memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang shahih dan dho’if, beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk menyusun kaidah-kaidah tahdis, usul-usulnya, syarat menerima riwayat, syarat menolaknya, syarat shahih dan dho’if, serta kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits ma’udu.



BAB III
PENUTUP

A.          Kesimpulan 
   
     Ide penghimpunan hadits Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab(w.23/H/644M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Alqur’an. Sampai Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz yangdinobatkan pada tahun 99 H. seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal sangat adil sehingga beliau dimasukkan golongan Khalifah Rosyidin yang kelima. Beliau punya inisiatif untuk membukukan hadits. Karena pada masa itu perawi atau para bendaharawan hadits kian lama kian berkurang karena banyak yang meninggal dunia. Untuk melaksanakan inisiatifnya itu maka pada tahun100H beliau memerintah gubernur MadinahAbu Bakar bin Hazm untuk membukukan hadits.Ulama’ yang pertama kali yang membukukan hadits” Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri.

B.     Saran

     Setelah menguraikan berbagai macam penjelasan tentang Sejarah Pembukuan / Penulisan Hadist. Diharapkan makalah ini mampu menjadi acuan bagi mahasiswa agar mampu, memahami, dan menjadikannya sebagai contoh teladan.

DAFTAR PUSTAKA

Az Zuhry menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Saheh ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud bin al Rabi’, Sa’id bin Musaiyab dan Umamah bin Saheh.

Shubhi ash Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Musthalahuh (Libanon :Dar al-‘Iim al-Malayin, 1977).

Baca Juga Sejarah Imam Ibnu Majah







Sejarah Imam Ibnu Majah

Sejarah Imam Ibnu Majah

Dana
June 03, 2016
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allas Swt. yang telah memberikan ramat dan karunianya kepada kita semua. Serta shalawat terhantur kepada nabi besar Muhammad Saw, semoga kelak kita mendapat safaatnya, aminn ya robbal'alamin.
Dan tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada dosen yang telah mempercayakan pembuatan makalah ini yang berjudul “Sejarah Imam Ibnu Majah”. Seperti kata pepatah tidak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga membutuhkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sehingga makalah ini lebih baik nantinya, amin.


Medan 21 Mei 2016,


Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB  I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang   
B.    Rumusan Masalah   
C.    Tujuan Pembahasan

BAB  II PEMBAHASAN
A.    Mengenal Imam Ibnu Majah
B.    Tentang Sunan Ibnu Majah
C.    Biagrafi Ibnu Majah
D.    Metode Yang Digunakan Ibnu Majah
E.    Penilaian Para Ulama

BAB   III  PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.    Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Hadits merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-qur’an. Keberadaannya dalam kerangka ajaran islam merupakan penjelas terhadap apa yang ada dalam al-Qur’an. Peranan hadits semakin penting jika didalam al-Qur’an tidak ditemukan suatu ketetapan, maka hadits dapat dijadikan dasar hukum dalam dalil-dalil keagamaan. Disamping itu, hadits diamalkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan keseharian. Dengan demikian, hadits mempunyai peranan yang sangat penting didalam islam.
Masa Rasulullah Saw. merupakan masa pewahyuan dan pembentukan masyarakat islam. Didalamnya, hadits-hadits diwahyukan oleh nabi yang terdiri atas perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi dalam membina islam. Keadaan hadits terus dijaga oleh sahabat. Pada abad ke-3 sampai abad ke-5, hadits-hadits nabi dibukukan dalam berbagai kitab dengan berbagai metode penulisannya

B.    Rumausan Masalah

1.    Bagaimana biografi tentang Ibnu majah?
2.    Metode apa yang digunakan Ibnu majah?
3.    Bagaimana penilaian para ulama tentang Ibn Majah?

C.    Tujuan Pembahasan

1.    Untuk mengetahui biografi tentang Ibn Majah.
2.    Untuk mengetahui metode apa yang digunakan Ibn Majah.
3.    Untuk mengetahui bagaimana penilain para ulama.




BAB II
PEMBAHASAN
 
A.     Mengenal Imam Ibnu Majah

Perkembangan Islam, sedari awal hingga hari ini, tak lepas dari peranan Hadis. Dalam pemahaman umum, Hadis adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yang meliputi tindakan, perkataan, maupun persetujuannya atas sesuatu. Keseluruhan tindakan dan ucapan Nabi SAW itu kemudian dijadikan panutan dan patokan bagi para pengikut Muhammad SAW dalam menjalankan perintah-perintah agama.

Semasa Nabi SAW hidup, ajaran-ajaran tersebut belum dibukukan. Hanya ada beberapa pencatat atau semacam sekretaris yang biasa mencatat pesan-pesan Nabi SAW, salah satunya adalah Sahabat Zaid bin Tsabit. Namun setelah wafatnya Muhammad SAW, para ulama bersepakat untuk menulis kembali apa-apa yang pernah disampaikan dan dipraktikkan Nabi SAW dalam bentuk kitab. Terbitlah kemudian kitab-kitab Hadis yang merekam tentang segala sesuatu yang terkait dengan Nabi SAW.

Dari sekian puluh ulama yang dikenal sebagai ahli Hadis dan banyak meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW adalah Imam Ibnu Majah. Bernama lengkap Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Ulama yang dikenal kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di Qazwin, Irak pada 209 H/824 M. Sebutan Majah dinisbahkan kepada ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Namun demikian, pendapat pertama tampaknya yang lebih valid.

Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu Hadis pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi (w. 233 H). Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negara guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antara lain Rayy (Teheran), Basra, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir.

Dengan cara inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan Hadis dari sumber-sumber yang dipercaya kesahihannya. Tak hanya itu, dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak ulama setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli Hadis, Imam Malik serta Al-Lays. Dari pengembaraannya ini, tak sedikit ulama yang akhirnya meriwayatkan Hadis dari Ibnu Majah. Antara lain Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.

Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang Hadis, sejarah, fikih, maupun tafsir. Di bidang tafsir, ai antara lain menulis Tafsir Alquranul Karim. Sementara itu, di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tariikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi Hadis sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya.

Yang menjadi monumental dan populer di kalangan Muslim dan literatur klasik dari karya Ibnu Majah adalah kitab di bidang Hadis berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya terbesar dia. Di bidang ini pula, Ibnu Majah telah meriwayatkan sedikitnya 4000 buah Hadis. Bahkan, seperti diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah Hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah Hadis. Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan Hadis yang lain. Tak hanya hukum Islam, dalam kitab Sunan Ibnu Majah tersebut juga membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dari sekian banyak Hadis yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama mengkategorikan sebagiannya sebagai Hadis lemah.

Atas ketekunan dan kontribusinya di bidang ilmu-ilmu Islam itu, khususnya disiplin ilmu Hadis, banyak ulama yang kagum dan menilainya sebagai salah seorang ulama besar Islam. Seorang ulama bernama Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini misalnya, berkata: “Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal Hadis.” Ulama lainnya, Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli Hadis besar dan mufassir (ahli tafsir), pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli Hadis kenamaan negerinya. Sementara mufassir dan kritikus Hadis besar kenamaan, Ibnu Kasir, dalam karyanya, Al-Bidayah, berkata: “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada Hadis dan usul serta furu’.

 
B.    Tentang Sunan Ibnu Majah 

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibnu Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibnu Majah menjadi terkenal. Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedang jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah hadits. Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibnu Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam. Dalam bab ini ia menguraikan hadits-hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya. Kedudukan Sunan Ibnu Majah di antara Kitab-kitab Hadits Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah ke dalam kelompok "Kitab Hadits Pokok" mengingat derajat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima. Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu: 

1.    Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
2.    Sahih Muslim, karya Imam Muslim.
3.    Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
4.    Sunan Nasa'i, karya Imam Nasa'i.
5.    Sunan Tirmizi, karya Imam Tirmizi.
6.    Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah.

Ulama pertama yang memandang Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul 'A'immatis Sittah. Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz 'Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma' ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian. Mereka mendahulukan Sunan Ibnu Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab AlMuwatta' karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih sahih daripada Sunan Ibnu Majah, hal ini mengingat bahwa Sunan Ibnu Majah banyak zawa'idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta', yang hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah. Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta' susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibnu Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam'i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa'adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi'i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi'i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.

C.    Biagrafi Ibnu Majah

Nama lengkapnya adalah abu Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, lahir di  Qazwin salah satu kota di Iran pada tahun 207 H/824 M. Ibn Majah adalah nama yang populer di kalangan umat Islam, setidaknya ketika setelah beliau menulis hadis dalam kitabnya Sunan Ibn Majah. Sementara itu, al-Qazwini juga dianggap sebagai nama lain yang dinisbatkan kepada Ibn Majah, karena tempat tersebut merupakan tempat di mana ia tumbuh dan berkembang. Sedangkan tempat kelahiran Ibn Majah tidak ada sumber yang menjelaskannya. Namun, nama lengkapnya ulama ini adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Ibn Majah al-Rubay’iy al-Qazwiniy al-Hafiz dengan nama kuniyah Abu Abdullah. Dengan demikian, nama asli pengarang kitab Sunan Ibn Majah adalah Muhammad ibn Yazid.

Ibn Majah hidup pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yakni pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (198 H/813 M) sampai akhir pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (295 H/908 M). Beliau meninggal dalam 74 tahun, usia tepat¬nya pada hari Selasa tanggal 22 Ramadan tahun 273 H.

Informasi tentang Ibn Majah ketika kecil sampai dewasa tidak banyak ditemukan dalam beberapa literature, keterangan yang ada hanya menunjukkan bahwa Muhammad ibn Yazid memulai karir akademiknya ketika masih kecil di desa Qazwin. Keterangan yang banyak terhimpun adalah yang terkait erat dengan kiprahnya dalam kegiatan penyusunan hadis. Ia amat gandrung dengan ilmu hadis walaupun pada saat itu baru berusia 15 tahun. Ibn Majah sempat berguru kepada Ali bin Muhammad al-Tanafasy (w. 233H) Kegiatan tersebut terus berlangsung dengan cara mencari guru ke berbagai daerah dan mendengar¬kan langsung hadis-hadis sehingga pada akhirnya beliau men¬jadi seorang ulama hadis yang kita kenal sampai sekarang.

Ibn Majah adalah seorang petualang keilmuan terbukti dengan banyaknya daerah yang dikunjunginya. Di antara tempat yang pernah dikunjunginya adalah Khurasan: Naisabur dan kota lainnya; al-Ray; Iraq: Bagdad, Kufah, Basrah, Wasit; Hijaz: Makkah dan Madinah; Syam: Damaskus dan Hims serta Mesir.Petualangan tersebut dilakukan Ibn Majah tidak saja dengan menghasilkan banyak hadis, namun juga mendapatkan ilmu yang  bermanfaat. Oleh karena itu, Ibn Majah diakui sebagai seorang  yang alim dalam hadis, ilmu sejarah dan tafsir. Kitab hadis  termasuk dalam salah satu kutub al-tis’ah yang banyak juga  pujian terhadap kitab sunan-nya.

Guru pertama Ibn Majah adalah Ali ibn Muhammad al- Tanafasy dan Jubarah ibn al-Muglis. Sejumlah nama guru Ibn Majah yang banyak menyumbangkan hadis antara lain Mus’ab  ibn Abdullah al-Zubairi, Abu Bakar ibn Abi Syaibah, Muhammad ibn Abdullah ibn Namir, Hisyam ibn Amar, Muhammad ibn  Rumh dan masih banyak guru lain yang dapat dilihat dalam karyanya secara langsung, Sunan Ibn Majah. Sedangkan murid- murid Ibn Majah yang banyak mengambil hadis dari Ibn Majah adalah Muhammad ibn Isa al-Abhari, Abu Hasan al-Qattan, Sulaiman ibn Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih.

D.    Metode Yang Digunakan Ibn Majah

Sudah barang tentu, Ibn Majah sebagai pengarang mem¬punyai metode dalam menghimpun hadis-hadis. Hal tersebut tidak diketahui dengan mudah ketika membaca kitabnya Sunan Ibn Majah. Oleh karena itu, ulama berijtihad untuk menemukan metode yang digunakan Ibn Majah dalam menghimpun hadis-hadisnya. Ulama menduga bahwa kitab hadis yang dikarang Ibn Majah disusun berdasarkan masalah hukum. Di samping itu, ia memasukkan masalah-masalah lain seperti zuhud, tafsir dan sebagainya. Kadang-kadang, hadis yang disebut ada yang hadis mursal dengan tidak menyebut periwayat di tingkat pertama, sahabat.     Hadis semacam ini disebut kurang dari 20 hadis. Di samping itu, hadis-hadis yang ada juga tidak semuanya sahih dan hasan. Di dalamnya juga terdapat hadis-hadis yaria bernilai da’if, munkar, batil, dan bahkan maudu’. Walaupun begitu, Ibn Majah tidak menjelaskan sebab-sebabnya.

Dari segi rijal al-hadis, Ibn Majah termasuk golongan ulama yang mempermudah memasukkan rijal al-hadis. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh periwayat pendusta dan periwayat yang banyak ditinggalkan seperti Amr ibn Subh, Muhammad ibn Said al-Maslub, al-Waqidi dan sebagainya dimasukkan dalam kitab Sunan-nya. Di samping itu, di dalam kitab tersebut juga dilengkapi banyak hadis yang tidak dijumpai dalam kitab hadis lain yang dikarang oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi dan al-Nasai. Diantara karyanya yang popular adalah sunan ibn majah yang disusun seperti bab fikih, jumlah haditsnya sebanyak 4.341 buah hadis. 3002 hadits diantaranya diriwayatkan oleh Ashhab Al-Khamsah.

Ibn Majah mem¬bahas hadis dengan metode hukum di mana beliau memulai pembahasan dengan kitab taharah. Bab zakat diakhirkan setelah bab puasa. Sedangkan kitab haji diletakkan jauh dari masalah ibadah yakni setelah jihad. Hal ini dimungkinkan karena ibadah haji itu lebih dekat dengan jihad dan demikian juga dengan ibadah. Haji merupakan dua kombinasi yang memer¬lukan perhatian serius.

Kitab Sunan Ibn Majah di dalamnya dibagi dalam beber¬apa kitab dan setiap kitabnya masih terbagi dalam beberapa bab. Jumlah hadis secara keseluruhan adalah 4341 buah yang terbagi dalam 37 kitab dan 1515 bab. Jumlah tersebut merupakan hasil perhitungan akhir yang dilakukan oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Sementara itu, dalam versi lain oleh al-Zahabi diketahui bahwa Sunan Ibn Majah hanya memuat 4000 hadis saja yang terbagi atas 32 kitab dan 1500 bab. Atau dalam riwayat Abu al-Hasan al-Qattan bahwa kitab Sunan Ibn Majah memuat 32 kitab, 1500 bab dan sekitar 4000 hadis.

Di bandingkan dengan kitab-kitab hadis lain, Sunan Ibn Majah ini memiliki kelebihan-kelebihan. Keunggulan kitab tersebut adalah terletak pada cara pengemasannya. Pengemasan seperti ini akan dapat mempermudah sesorang untuk mencari hadis. Di samping itu, keunggulan lain kitab ini adalah memuat hadis-hadis yang tidak ditemukan dalam kutub al-khamsah. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut dapat dijadikan informasi tam¬bahan dan dapat dijadikan ladang penelitian. Jumlah pasal-pasal dalam kitab Sunan Ibn Majah banyak dan ditata dengan baik dengan sedikit sekali adanya pengulangan.
Sudah barang tentu, dibalik keunggulan di atas, ternyata Sunan Ibn Majah juga terdapat kelemahan. Kelemahan yang ada adalah minimnya informasi atas hadis-hadis yang dinilai da’’ifdan maudu’. Selain itu, perlu penelitian lebih jauh atas hadis-hadis yang dinilai da’if.

Adapun ulama yang telah mensyarahkan kitab Sunan Ibn Majah adalah:
1. al-Muglata’i dalam kitabnya al-I’lam bi Sunanih alaihi al-Salam (w. 726 H.)
2. al-Kamaluddin ibn Musa al-Darimi (w. 808 H), dalam kitabnya Syarah Sunan     Ibn      Majah.
3. Ibrahim ibn Muhammad al-Halabi dalam kitabnya Syarah Sunan Ibn Majah
1.    Jalal al-Din al-Syuyuti, Syarah al-Zujajah bi Syarh Ibn Majah.     (w.911 H)
2.    Muhammad ibn Abd al-Hadi al-Sindi dengan kitabnya Syarah Sunan     Ibn Majah (w. 1138 H).

E.    Penilaian Para Ulama

Syihab al-Din Ahmad ibn Abi Bakr al-Busiri (w. 840 H.) memahami bahwa ada banyak hadis yang tidak disebut oleh dua kitab sahih dan tiga kitab sunan sebelumnya. Sementara itu, pe¬nelitian yang dilakukan Muhammad Fuad Abd al-Baqi menunjukkan bahwa terdapat 4341 hadis dengan perincian 3002 hadis yang dikeluarkan sama dengan lima kitab lainnya dan 1339 hadis yang masuk dalam kategori zawa’id dan tidak ada dalam lima kitab hadis sebelumnya. Dari hadis-hadis zawaid tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut: 428 hadis diriwayatkan oleh periwayat yang dapat dipercaya dan sahih sanadnya, 199 hadis sanadnya bernilai hasan, 613 mempunyai sanad yang da’if, 99 hadis me¬miliki sanad yang lemah, munkar dan didustakan.

Pernyataan Muhammad Fuad Abd al-Baqi di atas juga didukung oleh al-Suyuti dan al-Busyairi al-Misri 
( w. 840  H .) dalam kitabnya al-Misbah al Zujajah fi Zawa’id Ibn Majah bahwa hadis-hadis dalam zawa’ij bernilai sahih, hasan, da’if dan maudu. Kenyataan tersebut menafikan tuduhan al-Mizzi yang mengata¬kan bahwa semua hadis yang diriwayatkan dari Ibn Majah adalah da’if. 

Kitab Sunan Ibn Majah masih diperselisihkan keberadannya dalam kutub al-sittah oleh ulama. Ibn Tahir al-Maqdisi adalah ulama yang kali pertama memasukkan kitab Sunan Ibn Majah dalam kutub al-sittah. Pendapat tersebut diikuti oleh ulama lain ketika memberikan kometar terhadap Ibn Majah seperti Ibn Hajar al-Asqalani, al-Mizzi, dan al-Zahabi. Mereka menilai berdasarkan komentar Abi Zur’ah yang mengatakan bahwa kitab ini telah berada di antara orang banyak niscaya mereka akan beristirahat untuk membacanya. Mereka juga memuji ter-hadap sosok pengarangnya, Ibn Majah yang dinilai seorang yang hafiz dan mempunyai pengetahuan yang luas.  Disamping itu, adanya hadis-hadis lain yang tidak ditemukan di dalam kitab hadis sebelumnya (kutub d-khamsah) yang disebut dengan istilah zawa’id. para ulama sebelum abad 6 belum memasukkannya kedalam Buku Induk Hadits Enam (Ummahat Al-Kutub As-Sittah).
Para ulama mendahulukan Sunan Ibn Majah dari pada Al-Muaththa’ dalam gabungan Buku Induk Hadits Enam tersebut, karena didalamnya terdapat beberapa hadits yang tidak didapati dalam kitab lima, dan didapatkan lebih banyak dari Al-Muwaththa’, bukan berarti ia lebih unggul dari Al-Muwaththa’. 



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Nama lengkapnya adalah abu Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, lahir di  Qazwin salah satu kota di Iran pada tahun 207 H/824 M. Ibn Majah hidup pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yakni pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (198 H/813 M) sampai akhir pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (295 H/908 M). Beliau meninggal dalam 74 tahun, usia tepat¬nya pada hari Selasa tanggal 22 Ramadan tahun 273 H.

Ulama menduga bahwa kitab hadis yang dikarang Ibn Majah disusun berdasarkan masalah hukum. Di samping itu, ia memasukkan masalah-masalah lain seperti zuhud, tafsir dan sebagainya. Kadang-kadang, hadis yang disebut ada yang hadis mursal dengan tidak menyebut periwayat di tingkat pertama, sahabat.

Muhammad Fuad Abd al-Baqi menunjukkan bahwa terdapat 4341 hadis dengan perincian 3002 hadis yang dikeluarkan sama dengan lima kitab lainnya dan 1339 hadis yang masuk dalam kategori zawa’id dan tidak ada dalam lima kitab hadis sebelumnya. Dari hadis-hadis zawaid tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut: 428 hadis diriwayatkan oleh periwayat yang dapat dipercaya dan sahih sanadnya, 199 hadis sanadnya bernilai hasan, 613 mempunyai sanad yang da’if, 99 hadis me¬miliki sanad yang lemah, munkar dan didustakan.


B.    Saran

Semoga Makalah ini dapat berguna dan menjadi contoh yang baik kedepannya untuk kita.



DAFTAR PUSTAKA 

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2008), 264.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 162.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 170.
Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2003), 160-161.
Hadits, 2003,Yogyakarta: Teras.
http:/nippontri.multiply.com/riviews/item/9?&show_interstitial=1&u%2freviews
http:/nippontri.multiply.com/riviews/item/9?&show_interstitial=1&u%2freviews
Khon Abdul Majid, Ulumul Hadits, 2008,Jakarta: Amzah.
http://Ibnumajah.wordpress.com/sejarah-singkat-ibnumajah
http://Ibnumajah.wordpress.com/sejarah-singkat-ibnumajah
http://id.wikipedia.org/wiki/ibnumajah
http://id.wikipedia.org/wiki/ibnumajah

POSTINGAN SELANJUTNYA
Subscribe to: Posts (Atom)
Powered by Blogger.
Copyright © 2015 Dana Blog. All rights reserved. My Notes Template. Simple Default Template edited by RT Media ™. Powered by Login